Kamis, 12 Juni 2008

The Attractive Acacia Mangium


Dengan semakin melangkanya ketersediaan Jati, Akasia Mangium telah digunakan sebagai bahan baku furniture, terutama dalam lima tahun terakhir. Melimpahnya kayu pohon akasia telat tebang yang dianggap ‘sampah’ oleh perusahaan pulp, telah mendorong banyak pihak, terutama dari kalangan akademisi dan perusahaan terkait, untuk meneliti kelayakan kayu ini sebagai bahan baku industry furniture. Dan hasilnya positif.
Menurut Prof. Surjono Surjokusumo dari Institut Pertanian Bogor, kayu ini cukup baik sebagai bahan konstruksi dan furniture bila didukung dengan asupan teknologi yang cukup lengkap. Seperti dalam teknik kultur, sistem grading, ataupun desain. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa kayu tersebut harus dipilah, diukur kekuatannya berdasarkan lendutan, atau dilakukan pengawetan.
“Dengan struktur kerapatannya yang rendah, kayu ini bukan saja bagus bila dipakai untuk struktur bangunan tetapi memungkinkan pula untuk digunakan sebagai bahan dasar alternatif untuk mebel dan perkakas sejenis," ujarnya.
“Industry mebel lebih menyukai kayu yang moderat. Tidak terkalu keras dan tidak terlalu lunak, tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan. Karena produk furniture tidak hanya memuat nilai artistic, namun juga fungsional. Fungsi utama kursi, ya untuk diduduki. Dalam kehiduan sehari hari, kita sering memindah-mindah letak kursi,” tambah dia.
Selain kayu akasia mangium, kayu cepat tumbuh berkarakter serupa dikenal masyarakat adalah kayu jenjeng. Bila dibandingkan dengan kayu sugi yang banyak dipakai di Jepang, kerapatan kayu akasia mangium dan kayu jenjeng lebih tinggi. Karena kerapatan kayu sugi hanya mencapai 0,38 sedangkan kerapatan kayu akasia mangium dan kayu jenjeng dapat mencapai 0,45 sampai 0,5.
"Hasilnya lebih cepat diperoleh karena dalam kurun 10 tahun kayu akasia mangium sudah bisa mencapai diameter 40 cm. Sangat jauh berbeda dengan kayu jati yang akan mencapai diameter 40 cm dalam kurun 50 tahun," ujarnya.
Selain kerapatan, kegunaan kayu akasia mangium juga ditentukan oleh desain bangunan dan sambungan. Untuk negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Australia, umumnya sudah menggunakan jenis kayu ini untuk bangunan rumah yang rendah. "Mereka hanya menggunakan beton untuk bangunan-bangunan tinggi," ujarnya.
Pengeringan
Aspek pengeringan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebagai fast growing wood, bagian Kambium Akasia Mangium mengandung banyak selulose. Ini menentukan tingginya tingkat kembang susut kayu. “Tingkat pengeringan kayu terbaik bukan jika kayu terebut sungguh-sungguh kering. Dengan mengingat sifat kayu yang higroskopis, atau doyan air, tingkat pengeringan terbaik adalah jika kayu mencapai equilibrium moisture content (setara dengan kelembaban lingkungan sekitar); sehingga tidak ada perbedaan kelembaban antara kayu dan lingkungan sekitar, yang menjadikan posisi kayu stabil.” ujar I Ketut Pandit, pengajar departemen pengolahan hasil hutan Institut Pertanian Bogor. -Pan
Pandit menambahkan, seharusnya industry furnitur bisa mengalokasikan dana lebih pada investasi pengadaan alat pengeringan kayu, ditambah lagi tingkat kekeringan kayu tidak akan stabil untuk sepanjang waktu. Pengawasan tingkat kekeringan kayu juga perlu dilakukan; sampai pada mengukur tingkat kelembabab tempat tujuan penjualan, ekspor.
Langkah awal meminimalisasi kembang susut kayu, sebelum ditebang, pada batang Akasia Mangium dilakukan proses peneresan terlebih dahulu. “Proses ini serupa dengan peneresan yang dilakukan pada kayu karet, dengan cara melukai batang Akasia Mangium sedalam 2 sampai 3 cm. Peneresan untuk mengeluarkan cairan selulose pada kayu, yang akhirnya akan mematikan cambium. Dalam proses peneresan tidak diperlukan zat kimia apapun untuk memaksimalkan hasil teres,” ujar Naresworo, staf pengajar IPB.

Tidak ada komentar: