Kamis, 12 Juni 2008

The Left Raw Materials Diversification


Tren wood on wood furniture semakin menurun dalam lima tahun terakhir. Hal ini didorong oleh faktor penting: pertama, pasar mulai bosan dengan desain furniture berat, alias perlu ‘dicerahkan’ dengan produk desain dan bahan baku baru; kedua, semakin minimnya persediaan jenis kayu tertentu utamanya Jati.
Di sisi lain, terutama di Indonesia, penurunan tren wood on wood furniture ini dipercepat dengan minimnya penciptaan desain produk baru. “Bisa dibayangkan, ketika furniture berbahan baku Jati meledak di pasaran sekitar tahun 2000-an, kelimpahan produksi furniture Indonesia tidak dibarengi dengan kelimpahan desain produk. Akibatnya jenis furniture tertentu bisa di temukan dari Kendari sampai Jepara. Produknya sama persis, hanya namanya yang diganti-ganti; berbeda antar daerah,” kata Ambar Tjahyono, Ketua Asmindo Pusat, “Akibatnya, lebih mudah bagi buyer luar negeri untuk mendapatkan harga yang paling murah. Cukup dengan melakukan tour antar daerah dan ngentul harga. Karena masing-masing pengusaha tersebut juga butuh ‘laku’, akhirnya perang harga antar produsen pun tercipta dengan alami. Pukulan inilah yang masih berdampak besar sampai sekarang ini. Para produsen kita menjadi sangat sulit untuk menaikan harga. Dampak berikutnya dari rendahnya harga adalah penurunan kualitas produk. Ini yang berbahaya!”
“Seperti halnya kemandulan desain, ketergantungan produsen furniture pada kayu Jati, secara monoton, juga bisa justru berdampak destruktif pada industry itu sendiri,” jelas Robertus Agung Prasetya, direktur KWaS Designer and Manufacturer
Agung menambahkan kenaikan harga Jati yang konon kabarnya sampai tiga kali dalam satu tahun terakhir merupakan akibat ketergantungan produsen yang masih sangat tinggi terhadap kayu itu. Jika barang semakin sedikit dan permintaan semakin banyak, kenaikan harga merupakan hal yang tak terelakkan.
“Seharusnya permasalahan kelangkaan bahan baku kayu ini sudah bisa kita tangani sejak dini. Diversifikasi bahan mentah seharusnya juga sudah dilakukan sejak awal sehingga bisa dimunculkan jenis-jenis kayu substitusi non-Jati. Namun demikian, kita terlambat dalam dua hal; melakukan diversifikasi bahan baku dan mengembangkan teknologi peningkatan kualitas bahan baku kayu.” ujar KPH. Heri Joyonegoro, Direktur CV. Citra Jepara.
Heri menambahkan, kendati persediaan bahan baku kayu untuk industry furnitur Indonesia masih cukup (dengan mengkonversikan nilai ekspor furniture dan ‘lenyapnya’ luasan hutan per tahun), diversifikasi bahan baku tetap saja perlu guna meminimalisir persaingan tidak sehat, terutama antar produsen UKM yang saat ini masih bertumpu pada Jati.
Penyempitan hutan
Menimbang fakta bahwa luas hutan Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, orientasi pada pengunaan bahan baku fast growing wood untuk industry berbahan dasar kayu perlu ditingkatkan.
Jeda tumbuh pohon sampai bisa dipanen dan desakan permintaan bahan baku merupakan dua faktor yang berlawanan satu sama lain. “Sekarang ini banyak Jati ‘bocah’, karena usianya yang masih sangat muda, yang terpaksa dipanen, gara-gara sulitnya mendapatkan jati berkualitas dengan usia tanam yang matang.” jelas Ella, ketua WALHI Yogyakarta.
“Untuk bisa dipanen dengan hasil optimal, Jati butuh waktu tanam sekitar 50 tahun. Dalam kurun waktu tersebut jumlah kubikasi yang diperoleh pun juga tidak terlalu besar. Di sisi lain permintaan bahan baku untuk industry furniture pun semakin tinggi. Namun demikian, berapa sih perusahaan furniture Indonesia yang memiliki hutan, dalam kapasitas kecil sekalipun, yang digunakan sebagai investasi: cadangan bahan baku produksi masa depan?” papar Ella, “Semua hanya mau enaknya, nggak usah nanam, asal tebang saja!”
“Kemalasan inilah yang berandil besar dalam hal penyempitan hutan dan juga musnahnya sebagian keanekaragaman hayati yang hidup didalamnya,” tambah dia.
Hutan Produksi
“Kewajiban bagi para perusahaan berbahan baku kayu dalam rangka partisipasi mereka untuk juga membangun sumber pasokan kayu, dalam hal ini hutan produksi, memang masih dalam tataran wacana.” ujar San Afri Awang, dosen fakultas kehutanan Universitas Gajah Mada, “Negeri ini memang terbiasa larut dalam wacana. Hukum yang telah jelas tertuang dalam undang-undang pun bisa diwacanakan, alias dikaburkan, dipelintir kebenarannya.”
“Memang untuk membangun sebuah hutan tanaman yang produktif diperlukan biaya sangat besar. Namun bila investasi di sektor pendukung lain seperti mesin dan pemberdayaan tenaga kerja dilakukan, mengapa justru hulu-mudi produksi ini justru kurang diperhatikan?”, ujar I Ketut Pandit, pengajar departemen pengolahan hasil hutan Institut Pertanian Bogor, “Investasi di bidang pembangunan hutan tanaman, merupakan penguatan rantai nilai produksi furniture.”
“Sebagai perbandiangan, setiap industry pulp hampir bisa dipastikan 90% mempunyai hutan produksi sebagai sumber pasokan bahan bakunya, namun berbeda dengan industry furniture. Coba hitung, ada berapa perusahaan yang punya hutan sendiri! Toh bila ada, jumlahnya sangat kecil. Dan faktor inilah yang seringkali membuat industry furniture mengalami gonjang-ganjing, terutama dari lonjakan harga bahan baku, khususnya solid wood, dalam hal ini Jati sebagai tolok ukur,” ujar Pandit.
Namun demikian, Pandit menambahkan, pembangunan hutan produksi untuk industry furniture memang lebih sulit dikarenakan kategori penggunaan kayu dengan berbagai pertimbangan karakterisitik, bukan hanya volume dan kekerasan kayu, namun juga termasuk percabangan, kerapatan mata kayu, tinggi-rendah kandungan selulose dan sebagainya.
Pengembangan hutan produski fast growing wood merupakan keniscayaan untuk meningkatkan pasokan bahan baku yang akhirnya berdampak pada product competitiveness. Akasia Mangium merupakan salah satu jenis ini. Sebagai langkah awal pembiakan, saat ini Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati telah menanam bibit Akasia Mangium di atas lahan 80 hektar, yang selanjutnya akan diperluas di KPH lain di seluruh wilayah Perhutani Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur dan Unit III Jawa Barat.
Menurut Prof. Surjono Surjokusumo dari IPB, di Indonesia terdapat 23 lebih jenis kayu cepat tumbuh seperti kayu jenis Akasia Mangium. Namun demikian penelitan dan pengembangannya masih dirasa sangat kurang.
Kayu cepat tumbuh ini menguntungkan bagi Indonesia karena dapat tumbuh di hutan masyarakat dan sifatnya berkelanjutan. Kayu ini bahkan sudah sangat dikenal di Malaysia dan sudah dilakukan penelitiannya secara intensif di Australia. "Hanya di negara kita terkesan seperti kayu tidak berkelas, karena kalah kayu jati atau lainnya," ujar dia. -Pan

Tidak ada komentar: